Membangun Ekosistem Komoditas Kedelai Nasional
Kegaduhan kedelai sudah menjadi issue nasional setiap tahunnya pada masa 2 tahun terakhir ini, masalahnya kembali adalah harga kedelai final yang diterima Pengrajin Tempe Tahu Nasional.
Kegaduhan ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila kebutuhan kedelai nasional dicukupi sebagian dari produksi lokal, tidak seperti yang terjadi saat ini ketergantungan pada kedelai Impor mencapai 90 persen. Bayangkan; Import kedele rata-rata selama 4 tahun terakhir sebanyak 2,6 juta ton setara dengan nilai 1.1 milyar USD/Year.
Petani kedelai lokal mempunyai peluang besar untuk mengambil sebagian dari porsi kedelai import, dan saat ini terasa sekali bagi mereka dengan harga kedelai lokal di level Rp 8.000 - 9.000/kg membuat menjadi semangat kembali menanam di sentra-sentra kedelai. Dengan produktifitas 1,5 - 2,5 ton/ha menjadi harapan bagi income petani untuk bisa masuk garis sejahtera.
Peluang ini bisa diraih dengan membangun Ekosistem Usaha Tani Kedelai. Dengan keyakinan bahwa tahun 1990an kita pernah swasembada kedelai, kalau kurang baru import. Apalagi, Kedelai okal adalah poduk non GMO (transgenik), yanh sangat cocok untuk produk Tahu Tempe Lokal karena kedelai mempunyai aroma yang harum dan segar. Sehingga produk Tahu Tempe punya value added untuk diekspor.
Karena itu, jika ingin membangun Ekosistem Kedelai menuju swasembada, maka perlu adanya pengaturan mekanisme importasi disesuaikan neraca produksi kedelai dalam negeri. Termasuk regulasi Importasi non LarTas (larang terbatas) dirubah menjadi Lartas serta wajib dikenai bea masuk untuk melindungi kepentingan petani kedelai nasional.
Jadi dengan konsep membangun Ekosistem Produksi Nasional, diharapkan dalam waktu setahun atau dua tahun kedepan persentase kedelai import dapat dikurangi sehingga dapat memberi kesempatan petani kedelai kita hidup sejahtera.