PPID Balai Besar Pelatihan Pertanian Ketindan

Kementerian Pertanian Republik Indonesia

PPID Balai Besar Pelatihan Pertanian Ketindan

Permakultur, Produksi Pangan Ramah Lingkungan Berkelanjutan dari Pekarangan




Pemanfaatan pekarangan untuk menanam tanaman sumber pangan saat ini menjadi langkah penting dalam membentuk keluarga mandiri pangan. Produksi pangan dari pekarangan telah dikembangkan sejak lama di Indonesia melalui beragam program Kementerian Pertanian yakni kebijakan ketahanan pangan, diantaranya adalah Pekarangan Pangan Lestari (PPL). Kemandirian pangan keluarga telah menjadi solusi bertahan di tengah ancaman krisis pangan.

Kebanyakan pengelolaan sumber pangan dari pekarangan dilakukan dengan sistem pertanian organik, berdasarkan ketersediaan lahan dan modal, dengan pemeliharaan menggunakan pupuk organik dari pemanfaatan limbah rumah tangga. Sistem budidaya vertikultur menggunakan pipa, bambu, atau kantung plastik (polybag) yang disusun pada rak dapat dilakukan di lahan sempit dengan biaya terjangkau. Sementara sistem tanam hidroponik yang dikembangkan sebagai solusi lahan minim tanah, dilaporkan membutuhkan biaya lebih besar di awal.

Desain sistem produksi pangan saat ini berkembang pada sistem budidaya ramah lingkungan dan berkelanjutan, yang menggambarkan lanskap produksi pangan yang meniru keragaman dan ketahanan ekosistem alami. Sistem tersebut diperkenalkan pertama kali di Tasmania oleh Bill Mollison dan David Holmgren, pada pertengahan tahun 1970-an. Karena permakultur adalah pendekatan desain holistik dengan kepedulian terhadap kesehatan lingkungan, maka lebih mudah untuk mengadopsi prinsip-prinsip permakultur jika pengelola memiliki pandangan terhada kelestarian lingkungan.

Permakultur diperkenalkan sebagai salah satu desain sistem produksi pangan ramah lingkungan dan berkelanjutan, yang menggambarkan lanskap produksi pangan yang meniru keragaman dan ketahanan ekosistem alami.  Sistem tersebut diperkenalkan pertama kali di Tasmania oleh Bill Mollison dan David Holmgren, pada pertengahan tahun 1970-an. Karena permakultur adalah pendekatan desain holistik dengan kepedulian terhadap kesehatan lingkungan, maka lebih mudah untuk mengadopsi prinsip-prinsip permakultur jika pengelola memiliki pandangan terhadap kelestarian lingkungan. 

Dikutip dari Permaculture Design - a step by step guide oleh Aranya, pengembangan sistem permakultur didasarkan pada prinsip bahwa sistem yang dibangun harus bertahan selama mungkin dengan perawatan seminim mungkin. Prinsip berikutnya adalah sistem yang dibangun disupport matahari, sehingga seharusnya dapat menghasilkan tidak hanya untuk kebutuhan sistem sendiri tapi juga kebutuhan orang-orang yang menciptakan atau mengelolanya. Dengan demikian, kehidupan dalam sistem akan berkelanjutan, karena mereka menopang diri mereka sendiri dan manusia yang membangunnya. Prinsip yang terakhir bahwa manusia dapat menggunakan energi untuk membangun sistem ini, asalkan dalam masa pakainya sistem tersebut dapat menyimpan atau menghemat lebih banyak energi daripada yang digunakan untuk membangun atau memeliharanya.

Menurut Dave Holmgren, pakar ekologi dan permakultur dari Australia, selain ketiga prinsip tersebut, desain sistem juga harus mempertimbangkan musim, waktu, dan budaya yang berbeda, serta memperhatikan regenerasi dan diversifikasi. Desain sistem yang baik juga tidak menghasilkan limbah, artinya limbah digunakan sebagai input untuk didaur ulang, dikomposkan, atau dikurangi.

Selanjutnya, harus dapat mengatasi masalah pada sumbernya dan terintegrasi. Pada umumnya, sistem yang lebih kecil lebih mudah dikelola dibandingkan yang besar. Namun dengan memahami dan memanfaatkan keberagaman dan produktifiktasnya, maka ketahanan lebih dapat ditumbuhkan.

Pengelola permakultur harus adaptif terhadap perubahan yang terjadi, dan dapat menanggapi secara kreatif. Hasil positif dapat diperoleh melalui pengamatan yang cermat, dan intervensi pada waktu yang tepat.

Pada sistem permakultur harus adaptif terhadap perubahan yang terjadi, dan dapat menanggapi secara kreatif. Hasil positif dapat diperoleh melalui pengamatan yang cermat, dan intervensi pada waktu yang tepat.

Sengkedan dapat dihubungkan ke titik limpasan di lanskap untuk memaksimalkan pemanenan air hujan alami. Input eksternal dapat dikurangi dengan menanam lebih dari satu jenis tanaman, dengan mempertimbangkan tanaman pendamping dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan struktural tanaman lainnya. Sistem dibuat sealami mungkin seperti di hutan, sehingga interaksi semua komponen di dalamnya dapat terjaga. Atau juga dapat didesain taman vertikal (herbs spiral), yang memungkinkan pengelolaan angin dan aliran air secara individual. Gunakan bahan padat, seperti batu atau bata bekas untuk membangun kerangka spiral. Pastikan pusat spiral adalah titik tertinggi.  SPTN/YNI

Telah terbit di : https://www.swadayaonline.com/